Mendidik Buah Hati


Photo_0166

Foto anak pertama saya "Izaz"

Sudah agak lama blog ini hanya fokus ke materi-materi komputer, rasanya udah kangen ingin menampilkan tulisan-tulisan yang bisa kita jadikan renungan dalam kehidupan ini, bukan hanya mengasah kemampuan pikiran tapi juga bisa mengasah kemampuan perasaan.

Berikut ini adalah salah satu tulisan teman saya (Murrobi istri saya ketika di Yogya, M’ Ida Pramintari) yang saya copas dari FB nya, mengangkat sepenggal kisah tentang bagaimana mendidik anak kita. Semoga dapat diambil hikmahnya.

Catatan Kecil tentang Yoyok

Dari seberang, terdengar suara melengking keras, hingga Fatkha-ku menangis terbangun dari tidurnya. Tidurnya belum lama, maka begitu kutidurkan lagi sambil kubelai, tidurnya kembali pulas. Kupandangi wajah polosnya sambil memikirkan si tetangga kecil sumber suara itu. Tangisan Yoyok kembali terdengar, namun tak lagi mengganggu tidur fatkha.

Dari rumahku, rumah Yoyok di seberang jalan memang terbilang dekat, hingga suara ribut dari tetangga terdekatku itu sering terdengar lumayan jelas. Sering? Ya. Entah itu percekcokan orang tuanya ataupun teriakan dan tangisan Yoyok. Memang bisa dibilang tiap hari Yoyok menangis. Ada-ada saja penyebabnya. Subuh tadi, sudah terdengar tangisannya, seiring suara raungan keberangkatan motor bapaknya. Lebih sering karena keinginannya tidak kesampaian. Kemarin sore, lagi-lagi menangis seperti tiap harinya, ketika jajan di warung tidak mau berhenti. Dan soal jajan ini, paling sering jadi masalah.

Yach, soal jajan, Yoyok jago. Setiap harinya mesti menuruti keinginan jajannya, minimal 2.000. Apalagi ketika disambi emaknya ke pasar, minimal 10.000 harus melayang. Bagi keluarga kecukupan, mungkin uang itu tak seberapa. Tapi, bagi keluarga Yoyok, pengeluaran rutin sebesar itu sungguh berat. Sehari-hari hanya mengandalkan upah buruh bapaknya yang tidak menentu, ditambah keuntungan berjualan tempe seminggu tiga kali yang tak seberapa. Memang, jajannya kadang sering dikurangi, (dan itulah yang menjadi penyebab tangis Yoyok), namun kadang hanya dihardik-hardik dengan suara keras, meski akhirnya dibelikan juga ketika raungan Yoyok semakin menjadi. Itulah sebabnya, mungkin Yoyok justru menjadikan tangisnya sebagai senjata. Dan akhirnya, menjadi kebiasaan yang sepertinya sulit dihentikan.

Yoyok…Yoyok… . Badannya gemuk, pipinya tembem. Rambutnya panjang, lebih dari sebahu. Istilah kampung, rambut bajang (kata emaknya, seperti bapak Yoyok, baru akan dicukur ketika usianya telah tujuh tahun!). Matanya bulat bersinar. Wajahnya imut, makin manis ketika tersenyum, berhiaskan lesung pipit. Menggemaskan, sungguh menggemaskan.. Tapi sayang, kadang ‘menggemaskan’ yang menjengkelkan.

Pernah, ada tamu teman bapak bertamu ke rumah. Minuman dan hidangan ala kadarnya telah tersajikan di meja. Waktu itu begitu tiba-tiba, tanpa dinyana, Yoyok masuk ke rumah tanpa ba bi bu (memang biasa seperti itu), langsung menyerbu hidangan yang belum sempat ditawarkan pada sang tamu. Bapak seketika terkejut, mukanya langsung merah padam, apalagi ketika tamunya menanyakan apakah anak itu cucunya…. Begitulah, hampir setiap lewat rumahku, mesti ingin masuk rumah, dan didiamkanoleh emaknya. Atau, dibohongi bahwa rumah kosong, adik Fatkha pergi. Bahkan meski telah masuk rumah, tanpa sungkan-sungkan lagi langsung mencari dan mengambil segala macam makanan ataupun minuman di gelas. Emaknya yang mengetahui kala Yoyok masuk rumah tetangga orang, juga tak mengambil tindakan apapun. Jadi, dalam hal meminjam ataupun mengambil hak milik orang lain, kelihatannya tak pernah dipedulikan. Dhuh, bagaimana kelak adab kesopanannya ketika makin besar?

Kuamati, kedua orang tuanya tak pernah memberikan contoh adab kesopananataupun tata krama. Misalnya saja dalam hal cara makan, kelihatannya mereka tak mempedulikan tangan mana yang digunakan Yoyok. Pernah aku melihat Yoyok makan dengan tangan kiri. Lalu aku memancing dengan pertanyaan pada Yoyok sambil melirik emaknya. Ee, ternyata emaknya cuek saja. Atau dalam hal berbudi bahasa kepada orang lain, tak pernah diajari bahasa Jawa krama. Sering suamiku memancing dengan pertanyaan bahasa Jawa karma, Yoyok sama sekali tak mengerti, cuek saja mengoceh dengan bahasa kasar dan suara keras. Sementara, lagi-lagi emaknya cuek tanpa menjelaskan, tidak pula ‘mewakili’. Akhirnya, kami sendiri yang menjelaskan. Sebenarnya tak mengapa. Tapi, kami prihatin, karena seperti ini adalah tanggung jawab orang tuanya. Mungkin, mereka menganggap belum saatnya mengajari tata karma. Padahal, kupikir, adab dan tata karma seharusnya ditanamkan sejak kecil agar merasuk kuat.

Kemarin, ada penjual es lilin lewat dengan musiknya yang khas. Dari jauh, Yoyok sudah teriak-teriak minta dibelikan es. Entah kenapa, ia baru muncul ketika penjual es telah jauh berlalu. Waktu itu aku bersama sedang duduk-duduk di beranda depan rumah menemani Fatkha bermain kartu. Melihat Fatkha, lupa dengan keinginannya membeli es, teriakannya segera terhenti. Memang, dia suka sekali bermain dengan Fatkha, meskipun kadang Fatkha enggan. Mungkin seperti aku, teriakan-teriakan kerasnya yang membuat ngeri. Melihat Yoyok mendekat, Fatkha mengkerut. Melihat ada mainan mobil di sampingku, Yoyok langsung meraihnya sambil berkomentar dengan kerasnya. Tak lama, ia berlarian di halaman sambil tertawa-tawa memainkan mobil-mobilan Fatkha. Hingga akhirnya, Fatkha tertarik ikut serta berlari-larian. Tiba-tiba, kulihat Yoyok menabrak Fatkha dengan segaja. Untung, tak sampai menangis karena Yoyok membantunya berdiri sambil tertawa-tawa. Setelah itu tibalah emaknya menyusul, sambil membawa uang seribuan. (Katanya, buat membayar hutang pada penjual es yang kemarin dibelinya dengan terpaksa karena belum membawa uang sedang Yoyok telah merengek-rengek seperti biasanya). Melihat kedatangan emaknya, Yoyok berteriak-teriak kegirangan sambil berlari-lari. Ditubruknya lagi Fatkha dengan kerasnya hingga terjatuh. Kali ini Fatkha menangis, mungkin saking kerasnya. Dhuh…

Yang lebih parah lagi, adalah kebiasaan model tangisan kemarahan Yoyok, yang kadang diiringi dengan tingkah lakunya yang ‘durhaka’ pada emaknya. Entah itu memaki-maki dengan kata kasar, mengancam, memukul, menendang, dan sebagainya. Kalau dari segi umurnya yang baru 3 ½ tahun, memang belum bisa dihukumi dosa. Tapi, bukankah kebiasaan seperti itu sedari kecil akan terpola hingga dewasa? Kulihat, emaknya memang tidak pernah memperlakukan kekerasan fisik pada Yoyok, paling-paling teriakan bermacam-macam larangan. Selain emak, ada bapak dan embahnya yang menjadi orang terdekatnya juga yang kadang memang berbuat keras ataupun mengarah ke ancaman keras pada Yoyok, yang itu seakan menjadi ‘teladannya’. ‘Keteladanan’ ini nampak, manakala embah Yoyok mengancam, “ojo koyo ngono, mengko tak sabeti!”,

Ee, ternyata, selanjutnya ketika Yoyok menginginkan sesuatu kepada emaknya, juga mengancam emaknya, “emak tak sabeti!” Nah! Justru emaknya yang menjadi korban! Bisa-bisa orang lain pun menjadi korban…

Apakah emak, bapak dan embahnya tidak menyayanginya? Tentu saja, mereka begitu menyayangi Yoyok sebagai satu-satunya anak-cucunya, yang sangat dikasihi. Demi menambah pemasukan, menyenangkan cucunya, tak segan embahnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga keluar kota. Saat di perantauan, sering terbayang-bayang padanya, yang mendorong untuk pulang kampung. Kemudian, dibawakannya oleh-oleh buat Yoyok. Emaknya tentu paling menyayanginya, dengan menuruti segala keinginan Yoyok. Bapaknya juga menyayangi Yoyok, anak satu-satunya. Yoyok sering diajaknya bermain, diajak keliling desa naik motor. Bukankah itu bukti bahwa mereka menyayanginya?

Memang, kasih sayang mereka begitu kuat buat Yoyok. Hanya saja, kulihat, mungkin cara pengungkapannya-lah yang salah, yang justru menghilangkan arti kasih sayang mereka sendiri. Memikirkan Yoyok, ku jadi teringat Fatkha-ku yang begitu kami sayangi. Kuelus-elus rambutnya sambil kupandangi wajahnya dengan sayang. Aku bertekad, jangan sampai kami mendidik Fatkha seperti orang tua Yoyok memperlakukan anaknya..

Benarlah teori tabularasa. Anak ibarat kertas putih, yang akan bisa berubah tergantung dari yang menulisinya. Benar hadist Rasulullah, yang menyatakan bahwa ‘setiap anak adalah fitrah. Orang tuanya-lah yang menjadikannya yahudi, atau nasrani atau majusi.’ Kupikir, hadist ini tidak hanya ikhususkan pada masalah agama saja, tapi menyeluruh, kaitannya dengan pembentukan anak oleh lingkungan dalam hal adab kesopanan/tata karma, karakter, kebiasaan, dan sebagainya. Benarlah ungkapan ahli psikologi anak, (kurang lebih)

Ketika anak dibohongi, dia belajar menipu
Ketika anak diancam, dia belajar mengancam
Ketika anak dibohongi, dia belajar menipu
Ketika anak diberi, dia belajar memberi
Ketika anak dididik dalam kekerasan, dia belajar mengungkapkan kekerasan
Ketika anak dididik dalam cinta, dia belajar mencintai…

Yach, aku bertekad, akan berhati-hati dalam mendidik anak-anakku, sebagai bentuk ungkapan cintaku. Semoga mereka menjadi anak sholeh-sholihah. Mungkin, banyak sekali “Yoyok-Yoyok” lainnya. Semoga tidak lagi banyak melanda ummat kini. Rabbana hablana min azwaajina wadzurriyyaatuna qurrota a’yun waj’alna lil muttaqiina imaama. Innaka antal wahhaab.

Amiin

Iklan

7 pemikiran pada “Mendidik Buah Hati

  1. Ping balik: Cara Mengubah Tampilan Facebook Baru « pencerahqolbu

  2. kita memang harus hati-hati merawat amanah ALLAH yang luar biasa ini, saya jg baru merasakan bagaimana mendidik anak, anak saya baru 1 th.
    Mari kita siapkan generasi yang sholeh-sholihah, Insay ALLAH

    Suka

  3. memang berat memiliki anak, kebetulan saya dah punya dua putri yang cantik, berumur 5th dan 2th.
    Tapi yang pasti orang tua harus lebih banyak BERSABAR dan BELAJAR, (Soalnya aku baru belajar bikin blog nih mas Dian!).

    Suka

Tulis Komentar

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s